Woa. Entah apa yang saya lewatkan. Tiba-tiba saja Maret sudah lewat setengah. Hari-hari saya tertumpuk dalam deadline di antara mata kuliah yang bejibun. Entah dengan cara bagaimana, Februari diam-diam permisi. Sementara, tanpa saya sengaja, Maret pun kehadirannya tak terindahkan. Kini, setengah darinya tak termaknai.
Woah. Mungkin naif. Jika saya ingin waktu membeku. Sebentar saja. Atau, mencoba memutarnya berjalan mundur. Mengembalikan hari-hari yang terselip di antara deadline dan tek tok keypad laptop. Naif, bukan?
Sementara saya tahu. Waktu--dengan segala takdirnya--tidak dihadirkan untuk menunggu. Ada gegas bersamanya. Ada ketergesaan yang menyertainya. Alasan apa pun, tak akan membuatnya kembali. Dia merebut orang-orang, dia merebut ruang pergi bersamanya. Mengubah mereka menjadi orang-orang asing. Dan, melabeli teman-teman saya dengan nama kedewasaan.
Tapi, lagi-lagi, dengan entah bagaimana, saya berharap semua orang tidak lekas dewasa. Dan, saya takut ditinggalkan. Karena saya, tidak pernah ingin jadi dewasa. Saya tidak mau terasing di dunia yang asing. Dewasa adalah negeri paling asing, yang sedapatnya akan saya jauhi.
And, now, saat Februari tak menyisa dan Maret sudah setengah. Saya tahu, saya sedang larut dalam ketergesaan itu. Pusaran waktu membawa saya ke ruang terasing. Ruang, tempat satu sama lain sibuk dengan urusan amsing-masing. Tidak ada jeda. Tidak ada hela. Sapa yang sesekali lewat dalam ruang itu hanya intermezo. Ruang bernama kedewasaan itu membuat kita tak lagi saling mengenal, bahkan dengan diri sendiri.
Naif, bukan? Tetapi, bukankah semua kita adalah naif?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar