Coklat Panas, Senja dan Hujan :)

Senja baru saja bercerita tentang Ilalang di musim kemarau. Ilalang yang meranggas ditebas mimpi hujan yang tak kunjung datang.

Aku..


3 Maret 2013

Aku duduk bersandar di tembok kamar yang sekarang ku tempati. Langit mendung dan hujan sedang menari-nari - bebas. Air mataku tumpah ruah seperti hujan yang datang di penghujung musim panas. Sedari dulu, ada satu hal yang membuatku iri terhadap hujan. Aku ingin seperti Petir. Dengan menjadi seperti petir, aku bisa berteriak keras. Andai.. dan sejauh ini masih tetap andai. Aku hanya berharap ketika petir ini keluar, petir hal tidak akan melukai orang-orang yang menyayangiku.

Jari-jemariku bergetar hebat, memegang ponsel yang sedari tadi belum berdering. Menunggu pesan balasan dari seseorang yang sangat ku hormati dan kucintai di seberang sana. Aku menunggu pesan singkat Ayahku. Mataku mulai memandang setiap sudut kamar ini. Putih - bersih, rapi, besar, ada kamar mandinya. Seharusnya aku nyaman berada di sini. Tapi tidak.. Aku sudah tidak merasa nyaman lagi. Aku.. hanya ingin pergi. Itu saja.

Seandainya pergi bisa dengan sangat mudah, alangkah bahagianya aku?
Aku juga ingin memiliki hidupku sendiri. Aku juga ingin seperti aku yang dulu. Aku yang mencintai hidupku.

Belakangan ini hidup terasa begitu berat (maaf Tuhan jika aku mulai mengeluh lagi). Entah karena jadwal kuliahku yang padat atau karena hal lain. Hanya saja, belakangan air mataku lebih sering keluar dari biasanya. Dan anehnya aku tidak berniat untuk menahan atau cepat-cepat menghapus setiap bulir air mata yang jatuh.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku menghadapi masalah yang sungguh rumit. Sebenarnya masalah sepele, tapi ketika aku salah melangkah sedikit saja akan ada banyak pihak yang terlibat. Aku mengakui bahwa aku lebih senang jadwal kuliah semester ini. Aku jadi lebih sering berada di kampus daripada  di "Kost-an". :)

Bibirku terus merapal doa-doa. Berharap bahwa Ayahku di seberang sana mengabulkan permintaan anak sulungnya ini. Dan beberapa menit setelah air mataku reda ponselku bergetar. Cepat-cepat aku membuka - lalu menangis haru - bahagia.

"Sabar nak, kita tunggu waktu yang tepat. Pikirkan matang-matang. Setelah itu baru kita bicarakan ke keluarga yang lain masalah kepindahanmu. "

Untuk pertama kali juga dalam hidup, 
Ayah menyetujui keputusan besar dalam perjalanan 
hidup putri sulungnya.
Terima kasih Papah - Bapak - Ayah - dan 
segala perjuanganmu untukku,
selalu :).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar